Waspada Tragedi Bersama

By Admin


Zaki Nabiha

_Penikmat Kopi, ASN di Kementerian Pertanian_

nusakini.com - Ketahanan pangan dipahami bukan saja tentang bagaimana kemampuan Negara menyediakan pangan yang cukup dengan harga yang stabil, tapi juga memiliki dimensi ekonomi luas yang paling fundamental, dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Gaurav Datt, ekonom senior dari Monash University dalam penelitiannya tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi dan tingkat produktivitas di sektor pertanian, tingkat inflasi dan pegeluaran pemerintah dengan penurunan tingkat kemiskinan di India menyimpulkan bahwa strategi yang efektif untuk menurunkan kemiskinan adalah melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi. 

Indonesia, pada periode 1970-an hingga pertengahan 1990-an adalah potret _success story_ dalam pengentasan kemiskinan. Pada masa itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh World Bank dianggap berpihak kepada masyarakat (_pro poor growth_), pertumbuhannya terbesar dalam sejarah perekonomian negara mana pun.

Memang, persoalan pangan bagi semua negara, apalagi bagi negara berkembang seperti Indonesia adalah sesuatu yang krusial. Riak kecil yang ditimbulkan karena gangguan ketersediaan atau kelangkaan pangan bisa mengancam stabilitas dan ketahanan nasional.

Hal itulah yang kemudian diterjemahkan oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam melaksanakan amanat Nawacita dan melanjutkan pembangunan pertanian nasional yang kolaboratif dan integratif.

Denyut kolaborasi itu bisa dirasakan dalam pembangunan embung, seperti yang disampaikan oleh Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Kuntoro Boga Andri yang dimuat Republika (22/3/2018), sebanyak 30 ribu embung ditargetkan akan dibangun, rehabilitasi jaringan irigasi 3 juta hektare, membangun embung, long storage, dan parit sebanyak 3.771 unit, jaminan terhadap penyediaan pupuk dan benih, serta pengembangan potensi lahan rawa lebak yang mencapai 10 juta hektare. Semua itu dapat terwujud melalui sinergi Kementan bersama Kementerian Desa, Kementerian PU dan Perumahan Rakyat, BUMN, serta Bulog.

Karena negara mempunyai mandat dan legitimasi yang kuat untuk mengelola sumber daya pangan, meskipun status kepemilikan pada umumnya dikuasai oleh perorangan atau kekuatan kelompok tertentu. Maka, negara berkewajiban menyeimbangkan posisi dan kekuatan berbagai pihak tersebut secara transparan dan proporsional sehingga diharapkan sikap dan pendapat yang paling rasional dari mereka untuk menjamin kecukupan dan ketersediaan pangan adalah dengan cara bekerja sama dan mendukung setiap upaya negara, sampai, meminjam istilah anak alay, “berdarah-darah”. 

Sehingga iklim persaingan dalam memproduksi pangan, pengolahan dan distribusi akan memperbesar potensi efisiensi dan peningkatan mutu. Namun, kondisi persaingan tersebut harus dikelola dengan tepat agar tidak menimbulkan apa yang disebuat Garret Hardin sebagai “tragedi bersama”, semua pihak ingin untung besar tapi mereka tidak sadar, diwaktu yang sama, mereka tengah memanen kerugian yang jauh lebih besar. 

Kuncinya di Desa

Maka, menggerakkan kawasan ekonomi perdesaan menjadi upaya yang cukup layak untuk terus dielaborasi. Dengan menawarkan suatu konsep penyediaan berbagai komoditas pangan, jasa, fasilitas pasar baik bagi produsen (petani), pedagang maupun konsumen. Menduplikasi iklim perekonomian perkotaan di perdesaan. Hal ini senada dengan perintah Presiden Joko Widodo, melibatkan masyarakat/ kelompok dalam program padat karya dalam pengentasan kemiskinan, penanganan daerah rentan rawan pangan dan penanganan permasalahan gizi (stunting) di perdesaan.

Kementerian Pertanian melalui Badan Ketahanan Pangan (BKP) menggulirkan program Kawasan Mandiri Pangan (KMP) sebagai tindak lanjut perintah tersebut. Sebuah program pemberdayaan masyarakat yang tergabung dalam kelompok afinitas (kesesuaian minat dan usaha) melalui pemberian bantuan sebagai stimulan. Kelompok-kelompok tersebut dibimbing membuat dan mengembangkan usaha pertanian sesuai potensinya. KMP tersebar di 17 provinsi dan 20 kabupaten yang note bene merupakan wilayah masyarakat miskin, rentan rawan pangan, dan termasuk dalam wilayah program nasional penanganan stunting.

Sebagai penutup, izinkan saya mengutip pernyataan Pinstrup Andersen, Profesor di Universitas Cornell dan pakar ekonomi Denmark yang salah satu hasil penelitiannya menjadi dasar pendirian program "Food for Education", di mana para keluarga mendapatkan subsidi bahan pangan berdasarkan kehadiran anak-anak mereka di sekolah, sehingga dapat mengeliminasi kelaparan dan kebodohan sekaligus, “masalah ketahanan pangan sesungguhnya bukan sekedar peningkatan produksi tapi adalah cermin dari kemiskinan”.